Senin, 28 November 2011

PERISTIWA KARBALA


LAUTAN    D A R A H   PADANG  PASIR   K A R B A L A

Waktu itu menjelang shalat, seorang lelaki dari dusun yang jauh, menyeruak menemui Rasulullah saw dan bertanya: “Ya Rasulallah, kapan kiamat akan terjadi?Rasul yang mulia tidak menjawab. Beliau melakukan shalat. Usai shalat Rasulullah
bertanya: “Mana orang yang menanyakan kapan kiamat terjadi?”
Seorang diantara mereka menjawab Saya ya rasulullah.”
Nabi bertanya: “Apa yang kau persiapkan untuk menghadapi Hari Kiamat?” Lelaki itu menjawab: “ Demi Allah, aku tidak mempersiapkan amal yang banyak untuk Hari Kiamat, tidak shalat dan tidak pula puasa. Aku tidak mempersiapkan apa-apa Ya Rasulullah selain kecintaan kepada Allah dan Rasulnya.”
Nabi saaw bersabda: “Engkau akan digabungkan bersama orang yang kau cintai.” Mendengar itu, bersinarlah wajah orang Arab dusun itu. Ia bahagia karena kecintaannya kepada Allah dan rasul-Nya akan menggabungkannya dengan Rasulullah saw yang dicintainya. Melihat kegembiraan lelaki itu, para sahabat bertanya-tanya, Tidakkah mereka seperti lelaki itu, tak banyak ibadah, tidak memiliki persiapan cukup untuk hari Kiamat yang dahsyat. Mereka tidak memiliki sesuatu selain kecintaan kepada Rasulullah saw. Mereka bertanya: “Ya Rasulullah, apakah sabdamu itu hanya berlaku baginya ataukah juga bagi kami?” Nabi saw menjawab: “Bagi dia, bagi kamu dan bagi setiap muslim.”
Anas bin Malik yang melaporkan peristiwa ini kepada kita berkata, “Aku belum pernah melihat kaum muslimin berbahagia seperti bahagianya mereka ketika mendengar sabda nabi tersebut.”
Anas benar, Kita yang berkumpul ditempat ini, sama seperti sahabat-sahabat nabi itu. Kita tidak banyak beramal, kita lalai dalam shalat, kita kurang berpuasa, sementara dosa-dosa bertambah sejalan dengan bertambahnya usia. Kita tak siap menghadapi hari Kiamat. Tapi hadis dari Anas itu memberi harapan kita. Jauh dalam lubuk hati kita, berharap masih tersimpan kecintaan kepada allah dan rasulullah saaw. Cuma itu modal yang kita miliki. Hanya dengan itu kita datang di hadapan pengadilan rabbul alamin.
Marilah kita merenung sejenak. Benarkah dalam hati kita sekarang terdapat sedikit kecintaan kepada Nabi saaw? Adakah di jiwa kita seberkas cahaya yang bersinar dari pelita kecintaan kepada Rasulullah saaw? Pernah kamu dengar Rasulullah saaw bersabda, “Cintailah Allah karena curahan nikmat-Nya kepadamu. Cintailah aku karena kecintaanmu kepada Allah. Dan cintailah keluargaku karena kecintaanmu kepadaku!” Bila kamu mencintai Allah, pastilah kamu mencintai Rasulullah saw. Bila kamu mencintai Rasulullah, pastilah kamu mencintai keluarganya. Masih adakah kecintaan ini di hati kita??
Suatu pagi, Rasulullah saaw tampak murung. Mendung kelabu menutupi wajah yang mulia. Orang-orang bertanya, “Maa laka ya Rasulallah?” Apa gerangan yang menimpamu ya Rasulallah?” nabi menjawab, “Malam tadi aku bermimpi bani Umayyah mengerubuti mimbarku bagaikan kerumunan kera. Mereka akan menjadi penguasa bagi kalian dan kalian akan mendapati mereka penguasa-penguasa terburuk.”
Sehubungan dengan mimpi inilah turun ayat al-Isra ayat 60 yang berbunyi,

“Dan tidaklah Kami jadikan mimpi yang Kami perlihatkan kepadamu kecuali sebagai ujian bagi manusia dan pohon terkutuk dalam al-Quran.” Para sahabat bercerita bahwa sejak saat itu, wajah Nabi tidak pernah ceria. Sejak itu, ia tidak pernah tertawa lagi sampai beliau meninggal dunia.
Sekitar 30 tahun sepeninggal Rasulullah saaw, pohon terkutuk itu telah menjulang tinggi. Cabang-cabangnya tumbuh rindang, penuh duri, dengan setiap durinya menusuk jantung kaum mukminin. Bani Umayyah memegang kekuasaan. Sebelum itu mereka melakukan manuver-manuver politik untuk memecah belah umat Islam. Maka, di sebuah padang gersang di perbatasan Kufah, bertemulah dua pasukan. Keduanya adalah sahabat-sahabat Rasulullah saww. Kedua pasukan ini pernah bersimpuh di halaman Rasulullah saaw. Ali bin Abi Thalib as, Harunnya muhammad yang tak pernah gentar menghadapi musuh, kali itu kelihatan bimbang dan ragu. Ali yang menegakkan tonggak-tonggak sejarah Islam dengan pedangnya, waktu itu termangu. Beliau turun dari kudanya, lalu merebahkan diri bersujud di atas pasir-pasir sahara yang kering. Air mata deras mengalir membasahi tempat sujudnya. Ia merintih, “Tuhanku, lindungilah darah kaum muslimin!. Lindungilah darah kaum muslimin!. Lindungilah darah kaum muslimin!”
Kemudian beliau bangkit dari sujudnya dan ditatapnya wajah-wajah musuhnya. Bukankah mereka yang kini memusuhinya, dahulu saling bahu-membahu menegakkan Islam? Bukankah di seberang sana ada Thalhah dan Zubair, yang pedang-pedangnya pernah bersimbah darah Kuffar ? Beliau as melihat pedang-pedang yang sudah terhunus, tombak-tombak yang telah diacungkan dan anak-anak panah yang sudah ditarik. Beliau berkata kepada sahabat-sahabat setianya, “Siapakah diantara kalian yang mau memegang al-Quran ini dengan tangan kanannya? Bila tangan itu diputus pedang peganglah dengan tangan kirinya, dan bila tangan kiri itu putus, gigitlah dengan giginya?”
Mendengar seruan Imam Ali as, seorang remaja belia tampil sambil berkata, “Ya Amiral Mukminin, biarkanlah aku memegang al-Quran ini, aku akan serukan pesan perdamaian kepada mereka!”
Imam Ali berkata, “Kamu akan terbunuh.” Pemuda itu berkata tegas, “Demi Allah, ya Amiral Mukinin, tidak ada yang paling aku cintai selain mati syahid di hadapanmu.” Kemudian ia mengambil Mushhaf dari tangan Amirul Mukminin dan meloncat ke hadapan pasukan pembangkang. Ali menatapnya dengan pilu, “Sungguh Allah telah memenuhi hati anak itu dengan cahaya iman!”
Pemuda itu berdiri di hadapan pasukan musuh. Ia berteriak dengan suara lantang, “Ma’asyiran Nas, ini Kitab Allah. Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib memanggil kalian untuk bertahkim dengan hukum yang telah diturunkan Allah, kembalilah kalian ke jalan ketaatan kepada Allah dengan mengamalkan Kitab-Nya. Peliharalah darah kaum muslimin!”
Tak lama setelah menyerukan apa yang diperintahkan oleh Imam Ali as, pedang menebas tangan kanannya. Ia tersungkur, tetapi kembali mengambil al-Quran dengan tangan kirinya. Seketika itu pula tangan kirinya ditebas dan ia tersungkur lagi, lalu ia mengambil mushhaf dengan giginya. Matanya menyorotkan pesan perdamaian. Tubuhnya sudah bermandikan darah, puluhan pedang merobek-robek tubuhnya. Pemuda itupun gugur sebagai pahlawan Islam dan perdamaian. Jenazahnya dibawa ke hadapan Imam Ali. Beliau –panglima yang gagah berani itu- terisak-isak menangis. Kemudian beliau berkata, “Demi Allah, aku tidak ragu atau syak akan kesesatan dan kebatilan mereka, tetapi aku ingin agar manusia mengetahuinya dengan terang.”
Dengan hati yang berat, Ali bin Abi Thalib as melangsungkan pertempuran. Ia tahu dibalik perpecahan kaum muslimin, ada orang-orang munafik yang memancing di air keruh. Dan beliau sendiri akhirnya ditebas dengan pedang beracun juga; tidak di medan pertempuran, tidak dari depan, Ali dibunuh di mihrabnya. Beliaulah syahid mihrab pertama. Darah membasahi tempah sujudnya sebagaimana sebelumnya air matanya membasahi debu-debu padang pasir. Gugurlah Ali bin Abi Thalib, dan bersama itu pula robohlah tiang keadilan Islam yang paling kokoh. Gugurlah Harunnya Rasulullah yang pernah ditanya Rasulullah, “Wahai Ali, apabila pedang menebas kepalamu, apakah engkau akan bersabar?”
“Jika itu mati syahid, maka aku bukan hanya bersabar, tetapi aku akan bersyukur ya Rasulullah!” Jawab Ali. Kini beliau telah menemui Rasulullah untuk melaporkan apa yang telah diperbuat umat kepadanya sepeninggal Rasulullah saaw. Dan tidak ada penghalang lagi bagi bani umayyah untuk mencengkeramkan kuku-kuku kekuasaannya di tengkuk kaum muslimin sekarang.
Imam Hasan dan Imam Husein menyaksikan itu semua. Mereka melihat bagaimana penderitaan ayahnya yang di saat hidupnya diperangi dan tidak diberi ketenangan, dan saat meninggal, racun telah membuatnya menderita.
Kini Imam Hasan menjadi pemimpin. Namun beliau dipaksa menyerahkan kekhalifahannya. Dengan pertimbangan sempurna, diadakan perdamaian. Tetapi Muawiyah berkhianat, yang kemudian dengan tipu dayanya menyuruh orang lain – yaitu isterinya – meracuni Imam Hasan. Racun itu telah tersebar keseluruh tubuh al-Hasan. Alangkah beratnya penderitaan al-Hasan di kala itu. Akhirnya dada al-Hasan menyemburkan darah-darah segar dan tubuh itu kini telah layu serta terbujur kaku. Innalillah wa inna ilaihi raaji’un.
Dan kini, al-Husein dipaksa untuk berbaiat kepada Yazid, anak Muawiyah, yang kelakuannya hanya bermabuk-mabukan, bermain wanita, berfoya-foya dan bertemankan anjing dan kera. Namun Imam Husein menolak dan berinisiatif meninggalkan Madinah. Kemudian beliau bersimpuh di kuburan Rasulullah saaw untuk pamit. Seusai melaksanakan shalat beberapa rakaat di dekat kuburan Rasulullah saaw, Imam Husein berdoa, “Ya Allah, ini adalah kuburan nabi-Mu, Muhammad saaw, dan aku adalah anak dari puteri nabi-Mu ini. Kini telah datang persoalan yang sudah aku ketahui sebelumnya. Ya Allah, sesungguhnya aku menyukai yang makruf dan mengingkari yang mungkar, dan aku memohon pada-Mu wahai Tuhan yang Maha Agung dan Mulia, melalui hak orang yang ada dalam kuburan ini, janganlah Engkau pilihkan untukku kecuali sesuatu yang Engkau dan Rasul-Mu meridhainya.”
Imam Husein kemudian meninggalkan Madinah menuju Makkah dengan ditemani para anggota keluarganya. Saat melaksanakan ibadah haji, Imam Husein menjelaskan tentang bahaya pemerintahan Yazid dan kelakuannya yang selalu melanggar Allah swt, serta mengajak mereka untuk berjihad melawan kezaliman dan demi memperbaiki ajaran Rasulullah saaw yang sudah diputarbalikkan. Mendengar penjelasan dari al-Husein, sebagian dari mereka ada yang menolak, ada yang tidak berkomentar, dan sebagian lagi menasihati Imam Husein – pemuda penghulu surga- agar tidak pergi berjihad ke kota Kufah. Sebagian lagi memilih berputar di Kakbah dan membiarkan Imam Husein, putera Fatimah, berangkat hanya ditemani keluarganya dan beberapa orang sahabat setianya.
Setelah berjalan sekian lama, sampailah rombongan Imam Husein di Karbala. Dan ditempat itu, sejumlah pasukan sudah mengepung dan tidak memberi minum sedikitpun. Suhu panas yang sangat tinggi menambah rasa dahaga adik-adik Zainab dan kemenakan-kemenakannya. Meskipun sungai Efrat mengalir dengan derasnya, namun pasukan Umar bin Sa’ad melarang keluarga Rasulullah meminum darinya.
“Adikku, galilah tanah untuk mencari air!” perintah al-Husein kepada al-Abbas. Dengan segera al-Abbas melaksanakan perintah tersebut. Beberapa tempat terus digali, namun tak satupun yang memberikan sedikit harapan. Al-Husein tak mampu menutupi rasa sedihnya tatkala melihat kerumunan wanita yang mulai meronta-ronta karena rasa lapar dan haus yang mencekik.
“Al-Abbas, pergilah ke sungai Efrat, dan berilah adik-adikmu itu sedikit air untuk diminum!” Ucap Imam Husein. Tanpa mengulur waktu lagi, saudara saudara seayah al-Husein itu memacu kudanya menuju sungai Efrat. Dan saat mendekati sungai tersebut, al-Abbas dicegat oleh segerombolan pasukan Umar bin Sa’ad, dan secara tiba-tiba mereka menyerbu al-Abbas. Al-Abbas menyongsong serbuan itu dengan pedangnya, dan pertempuran seru pun meletus. Ia berhasil mengurangi jumlah mereka dan mendekati bibir sungai Efrat. Al-Abbas meningkatkan perlawanannya dan mengusir gerombolan itu sesaat.
Ia segera turun dari kudanya dan merapat ke permukaan sungai. Usai mengisi girbah, al-Abbas bergegas naik ke kudanya. Ketika hendak kembali, sebuah brigade pasukan telah siap menghadangnya dan al-Abbas mengikat girbahnya lebih kencang. Beliau pun segera mencabut pedangnya ke atas sambil bersyair lantang:
Aku datang menabur pasir memburu mati
Apa arti mati bagi seorang putera Ali
Kemarilah dan kuguyur dengan darah
Kutebas kalian dengan pedang sebilah…
Al-Abbas menepis setiap panah yang diarahkan ke tubuhnya, satu demi satu tentara bayaran Ibnu Ziyad terpelanting mengumpat perih luka. Tanpa disadari, dari arah belakang seorang binatang bernama Abrash bin Syiban mengayunkan pedangnya ke lengan kanan putera Ali bin Abi Thalib itu. Tangan kanan itu terpental meninggalkan tubuh al-Abbas. Darah segar memancar dari tubuhnya yang mirip seekor landak dari kejauhan. Tanpa rasa gentar sedikitpun al-Abbas mengadakan perlawanan dengan tangan kirinya sambil bersyair membuktikan kebulatannya untuk membela Imam Husein:
Demi Tuhan…
Meski mereka ambil tangan kananku
Akan kubela al-Husein dengan tangan kiriku
Apa arti sepotong tangan untuk agama kakekku
Kan kuhadiahkan nyawa dan semangat keberanianku

Al-Abbas terus bertempur ditengah derasnya anak panah. Tak satupun tarian pedang al-Abbas yang sia-sia. Kuda-kuda berlarian melemparkan setiap penunggangnya. Tiba-tiba dari arah belakang, sebuah ayunan kencang mengenai bahu kanan al-Abbas. Ia mengerang kesakitan, pria berwajah tampan ini kini kehilangan kegesitannya. Al-Abbas masih berada di atas punggung kudanya dan bertekad untuk menerjang barisan musuh demi menyerahkan girbah yang melingkari dada dan punggungnya ke al-Husein beserta keluarganya.
Umar bin Sa’ad berteriak, “Hai, keparat kalian! Hentikan geraknya dengan panah-panah dan tombak kalian!” Al-Abbas berusaha menepis hujan panah dengan pedangnya. Namun tanpa diduga dari arah belakang, Abdullah bin yazid as-Syibani mengayunkan pedangnya secepat kilat dan menceraikan tangan kiri al-Abbas dari tubuhnya. Al-Abbas nyaris kehilangan keseimbangan tubuhnya. Pedangnya terpelanting dan jubah putihnya kini berubah menjadi merah.
Dengan sisa kekuatannya, al-Abbas berusaha menerobos kepungan lawan. Bangkai-bangkai yang berserakan telah mengganggu gerak kudanya. Dalam suasana panik itulah, seketika benda tumpul membentur wajah al-Abbas. Saat itu pula kepalanya merekah dan menyemburkan darah. Ia terhuyung dan kemudian jatuh di antara kaki-kaki kuda. Kalung girbah yang dikenakannya kini telah putus. Dan hasrat putera Ali itu kandas di tengah belantara kemunafikan yang ganas. Al-Abbas mengerang dalam keputus-asaannya, “Salam atasmu wahai aba Abdillah.” teriak al-Abbas parau sebelum nafas suci berhenti mereguk madu syahadah.
Mendengar teriakan adiknya, al-Husein menjerit pilu, “Oh..adikku, oh..al-Abbas, oh..kecintaanku !” Imam Husein dengan segera memacu kudanya dan memporak-porandakan barisan yang mengepung al-Abbas. Beliau turun lalu merangkul tubuh jawara tak bertangan yang telah menjadi syahid itu. Al-Husein sesenggukan lalu mengangkat dan meletakkan tubuh al-Abbas di atas punggung kudanya seraya berkata, “Shalawat Allah atasmu, kau telah menyelesaikan tugasmu dengan baik sebagai saudara yang setia dan pejuang gagah berani di pihak yang benar, sembari mengusap darah yang menutupi wajah adiknya. Melihat Imam Husein menangis tersedu-sedu, Sukainah datang dan bertanya tentang nasib al-Abbas. Imam Husein menjawab, “Dia telah tiada.” Mendengar itu Sukainah menjerit, “Wa Abbasa..” Sayyidah Zainab seakan tak percaya akan kematiaan al-Abbas. Kemah-kemah wanita kemudian dipenuhi tangisan mengenang kematian Abbas.
Kini al-Abbas telah pergi menjumpai kakeknya Rasulullah, menjumpai ayahnya Ali bin Abi Thalib, menjumpai Fathimah al-Zahra dalam keadaan haus, teraniaya, tercabik-cabik tubuhnya bersimbahkan darah. Salam atasmu wahai al-Abbas. Inna lillah a inna ilaihi raji’un.
Setelah kematian Abbas, tampillah Habib bin Mudhahir, Anas al-Khalili, dan keduanya juga terbunuh. Kini majulah Hilal bin Nafi’, anak angkat Imam Ali yang dikenal sebagai ahli panah. Ia kemudian menyeruak meninggalkan barisannya dan duduk di atas punggung kudanya dengan gagah dan membacakan puisi kesyahidannya. Dengan secepat kilat ia mengoyak barisan lawan. Satu demi satu lawan-lawannya dijatuhkan hingga mencapai tujuh puluh orang. Sesaat itu langkahnya terhenti dan tubuhnya tersungkur tatkala puluhan tombok mengenai kepala dan sekujur tubuhnya. Di saat menjelang kematiannya, ia masih menoleh ke kanan dan ke kiri mencari-cari dimanakah al-Husein. Gerakan matanya terhenti seketika dan ucapan ‘selamat tinggal’ yang ingin diucapkannya kepada al-Husein tak sempat dilontarkan setelah ayunan pedang memisahkan kepalanya. Kepala itupun bergelinding meninggalkan tubuhnya yang dikoyak-koyak kaki kuda musuh. Dia pun merelakan nyawanya demi cucu Rasulullah dengan senyuman. Selamat jalan wahai anak angkat Ali, salam kami untukmu. Kini kau telah meneguk cawan madu surgawi. Kau telah syahid dalam membela kebenaran, dalam membela al-Husein, putra Fathimah, putra Amirul Mukminin, putra Rasulullah, penghulu para nabi. Inna lillah wa inna ilaihi raji’un.
Sahabat-sahabat al-Husein jatuh berguguran seorang demi seorang, dan kini mata al-Husein meneteskan air hangat saat menyaksikan Abdullah bin Muslim tampil memohon izin untuk maju ke medan pertempuran. “Kemenakanku, cukuplah pengorbanan ayahmu.” Ujar Imam Husein sambil mengelus kepala pemuda tampan itu.
“Paman, bagaimana aku mampu menatap wajah Nabi dan ahlul Bayt kelak?” tandas putra duta al-Husein untuk warga Kufah yang dibunuh oleh Ibnu Ziyad. Dengan perasaan haru al-Husein mendengar jawaban mantap kemenakan ayahnya itu. “majulah kemenakanku !” Perintah al-Husein. Dengan hati penuh kegembiraan, ia memacu kudanya meninggalkan debu-debu mengepul di belakangnya. Ia sempat bersyair sebelum menghunuskan pedangnya:
Hai…Kamilah Bani Hasyim, manusia-manusia ningrat
Kamilah yang melindungi puteri-puteri Nabi terhormat
Kamilah yang rela melawan manusia-manusia bejat…
Demi kebahagiaan dan keberuntungan kelak di akhirat

Ia mengayunkan pedangnya ke kanan dan kekiri sambil menghamtamkan perisainya ke wajah musuh-musuhnya. Ia berjaya merobohkan 70 penunggang kuda sebelum anak panah beracun mengenai lehernya dan 9 mata tombak mematahkan punggungnya. Ia sempat mengerang kesakitan sambil mengeluh, “Oh…punggungku ! oh…adakah yang sudi membela al-Husein!”
Jeritan dan erangan Abdullah bin Muslim bin agil tidak membuat pasukan musuh puas. Dengan kepongahannya mereka mencabut tombak dari tubuh Abdullah untuk kemudian dipukulkan lagi secara bertubi-tubi hingga tubuh itu hancur lumat tak utuh lagi. Kepala abdullah yang sudah berlubang, kemudian dipisahkan dari batang lehernya. Dengan bersorak gembira musuh-musuh Imam Husein mempermainkan kepala yang sudah terpisah itu. Bukanlah itu kepala cucunda Amirul Mukminin? Betapa sedihnya Ali bin Abi Thalib saat itu, melihat keluarganya dibantai tanpa perikemanusiaan, melihat tubuh Abdullah bin Muslim bin Agil, cucunya, diinjak-injak kaki kuda. Salam atasmu wahai Abdullah, salam atasmu wahai Amiril Mukminin! Kami ikut berduka cita atas musibah ini. Inna lillah wa inna ilaihi raji’un.
Tetesan-tetesan darah para syuhada Imam Husein mulai merubah warna pasir menjadi kemerah-merahan. Di tengah sengitnya pertempuran, datanglah seorang anak kecil yang masih berumur sebelas tahun bernama Amr bin Sanadah, yang mana ayahnya baru saja terbunuh di padang karbala. Si kecil Amr menghadap kepada Imam Husein dan berkata, “Wahai Imam Husein, izinkanlah aku membela agar aku bisa menyusul arwah ayahku yang mati syahid !” Kemudian Imam Husein menjawab, “engkau masih terlalu kecil wahai Amr, lalu bagaimana dengan ibumu ?” Dengan tegas ia menjawab, “Wahai cucu Rasulullah, sungguh ibuku sendiri yang memakaikan baju perang ini padaku, janganlah engkau kecewakan hati ibuku !” Namun Imam Husein tetap melarangnya.
Amr bin Sabadah menangis tersedu-sedu, lalu berkata ke ibunya, Wahai ibunda, Imam melarangku untuk mati syahid menyusul ayahku.” Ibu yang baru saja kehilangan suaminya segera mendatangi Imam dan berkata, “Wahai al-Husein, izinkanlah anakku untuk mati syahid membelamu agar wajahku kelak berseri-seri ketika berjumpa ibumu Fatimah az-Zahro.” Mendengar perkataan si ibu, akhirnya Imam Husein mengizinkan, dan Amr berperang dengan tangkasnya.
Pembelaannya tidak berlangsung lama, sebab pedang musuh bertubi-tubi mengenai tubuhnya. Tubuh yang masih kecil itu terhempas di padang Karbala. Darah merah membasahi sekujur tubuhnya, kemudian ia menyusul ayahnya yang mati syahid dalam membela Imam Husein. Apa dosa anak sekecil ini ? Anak yang masih di bawah umur, yang belum ternodai oleh perbuatan-perbuatan kotor dan durjana. Haruskah dia juga dibantai hanya karena membela Ahlul Bait Nabi ?
Kemudian musuh memenggal kepalanya dan melemparkan kepala itu ke tengah kemah wanita. Mengetahui bahwa kepala itu adalah kepala anaknya, ibu Amr bin Sanadah segera mengambilnya dan menciumnya serta mengelus-elus wajah anaknya sembari berkata, “Terimalah pengorbananku ya Allah, terimalah wahai sayyidah Fatimah az-Zahro agar wajahku kelak berseri-seri saat menghadapmu.” Wa Fathimah..! Wa Sayyidatu nisail ‘alamin..! Salam kami untuk kalian semua. Semoga pengorbanan Allah.
Kini giliran ‘Aun bin Abdullah, cucu Jakfar bin Abi Thalib maju ke depan. Di atas kudanya ia berpuisi;
Aku janji tak akan masuk pintu Surga
Tanpa cinta pada Muhammad dalam dada
Dialah yang patut diikuti dan dibela
Hai…merpati-merpati dan serigala-serigala
Masih ada seberkas cahaya Ilahi di sana

.
Aun bin Abdullah memacu kudanya dengan kencang, lalu mengejar barisan pasukan ibnu Ziyad sambil menghujamkan pedangnya ke setiap tubuh yang menghadangnya. Ia sangat piawai dalam bertempur hingga mampu membunuh 80 tentara ibnu Ziyad sebelum terjatuh dari kudanya. Kepungan pasukan lawan telah membuatnya tak berdaya untuk bangkit dan mengadakan perlawanan. Aun bin abdullah diinjak-injak puluhan kaki kuda. Dia meronta kesakitan dan dihentak-hentakkan kakinya, sementara musuh masih kegirangan mendengar jeritannya. “Waa.. Ja’faro..!” Injakan ratusan kaki kuda membuat remuk seluruh tubuhnya. Tiba-tiba seorang biadab dari pasukan musuh turun menebas batang lehernya. Kepala itu jatuh dan darah segar menyembur dari lehernya. Cucunda Ja’far bin abi Thalib telah terbunuh. Tidakkah mereka tahu bahwa ‘Aun adalah cucu Jakfar, pahlawan yang oleh Rasulullah saaw diberi gelar “at-Thayyar”, yang terbang ke Surga ? Saksikanlah wahai Jakfar, perlakuan mereka yang biadab terhadap cucumu. Tidakkah mereka takut akan azab Allah ? Jangan beri mereka syafaat ya Rasulullah ? Waa..Ja’afaro..! Waa..musibataa..! Inna lillah wa inna ilaihi raji’un.
Musa bin Agil, saudara misan Imam Husein as, menyeruak dari barisan dan menghentikan kudanya di hadapan barisan musuh sambil berpuisi;
Akan kukoyak dan kupukul kalian
Kujaga para wanita dan perawan
Kuhadiahkan pedang dan pukulan
Kumusnahkan bak seorang pahlawan…
Harapanku adalah pahala Tuhan…
Harapan kalian adalah kemalangan

Ia tidak membuang waktu dan segera menerobos pasukan ibnu Ziyad. Dengan gigih cucu Imam Ali as itu melayani mereka hingga berhasil menuai 70 kepala manusia. Sebuah tombak yang menancap di punggungnya membuat ia terpental dari atas kuda. Dia terseok-seok kesakitan, sedangkan pasukan musuh menari-nari melihat penderitaan cucu Imam Ali tersebut. Kini dimulailah adegan pemisahan tubuh. Pedang-pedang mulai mengoyak tubuhnya, dan sempalan-sempalan tubuhnya dilemparkan ke kemah-kemah wanita pengikut al-Husein. Erangan tangis gadis-gadis Ali menyertai pemisahan kepala Musa, cucu Ali.
Para wanita berhamburan dari kemahnya mengambili sempalan-sempalan tubuh cucu Ali, tubuh cucu Harunnya Rasulullah. Waa..Aliyyah..! Mengapa keluarga Nabi dibantai sedemikian rupa. Yaa Allah, azablah mereka dengan azab yang pedih ! Mereka ingin membumihanguskan keluarga Nabi-Mu. Inna lillah wa inna ilaihi raji’un.
Al-Husein terperangah melihat dua remaja berparas cahaya bak purnama menyeruak dari barisan dan menghampirinya. Mereka Ahmad dan al-Qasim putera Imam Hasan bin Abi Thalib as. “Kami datang menyambut panggilanmu paman. Perintahlah kami untuk maju mengurangi mereka sebanyak mungkin !” ucap mereka bersemangat di atas punggung kuda masing-masing. Sejenak Imam Husein mengamati wajah suci kedua kemenakannya itu dengan perasaan haru. “Majulah dan sumbangkan jiwa demi kehormatan kakek kalian Rasulullah.” balas al-Husein sembari menyeka butiran-butiran hangat yang membasahi pipi dan jenggotnya.
Al-Qasim yang masih berumur 14 tahun melarikan kudanya kencang laksana bayang-bayang lalu menerjang barisan lawan dengan ayunan kemilau pedangnya dan hentak-hentak kaki kudanya. Ia berjaya melemparkan ke bumi 70 pasukan ibnu Ziyad, sebelum jatuh dalam perangkap. Pemuda lajang berparas sangat tampan itu terpental dari kudanya setelah pedang musuh bertubi-tubi mengenai tubuhnya. Dia pun menjerit memanggil al-Husein sembari menghentak-hentakkan kakinya ke bumi. “Waa..Husaina ! Waa..Ammah..!
Jerit tangis puteri-puteri Rasulullah membahana menggoyangkan persada Karbala nan tandus. Al-Husein menyerbu pasukan Ibnu Ziyad yang mengepung jasad al-Qasim dan membubarkan mereka. Jasad al-Qasim dikeluarkannya dari lubang perangkap dan didekapnya dengan perasaan pilu. Bibir al-Husein bergetar menahan gejolak emosinya. Namun, al-Qasim telah meneguk mata air surgawi syahadah karena sepucuk tombak melubangi wajah dan lehernya. Inna lillah wa inna ilaihi raji’un.
Imam Husein mengguncang tubuh tak bernyawa itu sambil mengutuk Yazid dan para pendukungnya. Beliau memeluk erat tubuh al-Qasim yang bersimbah darah. Butiran air mata membasahi jenggotnya. Al-Husein seakan tak rela berpisah dengan kemenakannya yang baru tumbuh dewasa. Sampaikan salamku pada kakekku Rasulullah ! kabarkan apa yang mereka lakukan pada kami, keluarga Rasul. Lalu al-Husein berdoa; “Ya Allah, jangan biarkan seorang pun selamat dari mereka dan jangan ampuni mereka selamanya ! Celakalah kaum yang membunuhmu! Rasulullah-lah musuhnya. Sabarlah wahai keluarga pamanku !” Kemudian tubuh al-Qasim diletakkannya perlahan-lahan di atas bumi Karbala.
Kemudian tampil kakaknya yaitu Ahmad bin Hasan bin Ali . Ia menerjang barisan pasukan Umar bin Sa’ad dan memindahkan pedangnya dengan lincah dan cepat dari satu tubuh ke tubuh yang lain, hingga berhasil menewaskan 80 tentara berkuda. Ia tiba-tiba mundur serta kembali ke barisan Imam Husein. “Paman, adakah sedikit air untuk membasahi rongga leherku agar aku dapat bertahan lebih lama menghadapi musuh-musuh Allah dan Rasul-Nya?” tanyanya sesampai di hadapan al-Husein.
Lidah pemuda itu sedikit menjulur keluar menahan dahaga. “Hai keponakanku, bersabarlah sejenak, tidak lama lagi kau akan bertemu dengan kakekmu Rasulullah yang akan memberimu minum yang akan melenyapkan dahagamu selamanya.” Jawab al-Husein menghibur kemenakannya. Pemuda itu kembali melesat ke depan meninggalkan pamannya dan barisan di belakangnya. Sambil mengacung-acungkan pedangnya, ia berpuisi:
Aku bersabar sejenak meski dahaga
Karena jiwaku dahaga akan Surga
Kematian di mataku adalah indah
Tak merasa takut dan tak gundah
Ahmad menerobos barisan lawan dengan pedang terhunus. Pasukan Umar menghadapi serangannya. 50 tentara Ibnu Ziyad telah menyerahkan nyawanya diujung pedangnya. Ia segera mundur dan mengatur posisinya sebelum mengadakan serbuan ketiga. Kemenakan Imam Husein yang membiarkan luka-luka di badannya mengucurkan darah itu bersyair:
Rasakan pukulan al-Mukhtar
Kami adalah putera sang pendekar
Menghujam hati bak burung nasar
Mengoyak penjilat dan mencakar
Akan kubuat kalian hina dan terkapar
Merintih bermandikan darah segar…

Ia tiba-tiba menghentak barisan lawan dengan serbuan mendadak hingga berhasil membunuh 60 orang. Melihat kegigihannya, Umar bin Sa’ad memerintahkan pasukannya agar menghujani anak panah. Tak ajang lagi hujan panah menghentikan Ahmad bin Hasan bin Ali. Tubuh itu sempoyongan sementara darah telah membasahi sekujur tubuhnya. Dia menggigit bibirnya yang mulai pucat sambil menjerit parau. “Waa..Hasanah, waa..Husainah.” Dalam keadaan inilah musuh-musuh sl-Husein kegirangan sembari mencincang-cincang tubuh yang tak berdaya tersebut. Dan tebasan pedang musuh memisahkan kepala dari tubuhnya. “Duhai al-Hasan, dulu engkau mati menyemburkan darah, kini puteramu Ahmad terbujur kaku berlumuran darah tanpa kepala.” rintih al-Husain. Sayyidah Zainab menjerit melihat kemenakannya yang tak berkepala lagi. “Waa..Ahmada.! Ya Rasulullah, inilah cucumu. Ya Fathimata, inilah Ahmad bin Hasan puteramu.”
Kini yang tampil Ali al-Akbar bin Husein, kakak tertua Ali Zainal Abidin. Dia adalah seorang pemuda yang sangat serupa dengan wajah Rasulullah saw. Imam Husein memeluknya sembari berkata, “Ya Allah, telah tampil seorang pemuda yang mirip wajah Rasulullah. Ketahuilah, bila kami rindu kepada Rasulullah, maka kami tatap wajahnya.” Usai memohon izin kepada ayahnya, ia melesat cepat lalu berhenti di hadapan pasukan Umar bin Sa’ad sambil bersyair;
Akulah Ali putera Husain cucu Ali
Kami adalah penghuni rumah Nabi
Kutikam kalian hingga jatuh mati
Tikaman pemuda pemberani Hasyimi

Ia menebas kepala yang hadir di depan dan di sekitarnya hingga berhasil memetik 180 kepala tentara berkuda. Kemudian Ali al-Akbar kembali menemui al-Husein dan berkata, “Aku haus ayahku, aku haus..” Lalu al-Husein menjulurkan lidahnya ke mulut Ali al-Akbar. Namun lidah Imam juga kering. “Bersabarlah wahai anakku, hingga kakekmu memberimu minum.” jawab al-Husein. Ia pun melesat lagi dan membabat pasukan musuh. Tetapi secara tiba-tiba dari arah belakang, seorang manusia terkutuk menghujamkan sebongkah besi di atas kepalanya sehingga menyebabkan pemuda itu terseok-seok lalu terjatuh. Ia menggelepar sambil menjerit parau, “Oh ayahku, waa Abataa..waa Husaina.., salam dari anakmu untukmu. Hanya inilah yang dapat kupersembahkan. Ini kakekku, Rasulullah, datang membawa air yang aku tak akan haus lagi selamanya.”
Ali al-Akbar gugur sebagai syahid. Para wanita menyambut kematiannya dengan erangan dan tangisan. Sukainah puteri al-Husein berkata, “Wahai ayahanda, kenapakah anda tidak ke sana?” Imam Husein menjawab, “Jangan salahkan aku wahai anakku, aku tak tega melihat kakinya dihentak-hentakkan ke tanah dengan berlumuran darah serta dicekik kehausan. Dia adalah tumpuan kami saat kami rindu kepada Rasulullah saw.” Namun kemudian al-Husein pergi ke arahnya, lalu mengusap darahnya dan melemparkan darah itu ke langit. Tak setetes pun dari darah itu yang kembali ke bumi. Lalu Imam menangis, “Waa jaddi Musthafa, waa Rasulullah, waa fathimataa, waa Aliyya..”
Suasana haru, duka dan tegang kian mencekam. Adegan-adegan ketegangan nyaris mencapai puncaknya. Angin semilir berhembus mengibarkan ujung jubah lusuh al-Husein. Tak lama kemudian, al-Husein menoleh ke arah putera bungsunya yang terbaring di pangkuan Ummu Kultsum. “Jagalah dengan baik anakku yang paling kecil ini karena usianya baru 6 bulan.” pesan al-Husein pada adik Zainab itu.
“Abangku, tiga hari telah dilalui anak bungsu ini tanpa setetes airpun mengaliri tenggorokannya.” ujar Ummu Kultsum sambil mengelus-elusnya lembut. Kemudian Imam Husein menggendong lalu membawanya ke hadapan musuh sambil berteriak, “Hai orang-orang, kalian telah membunuh saudaraku, anak-anak, kemenakanku serta pengikutku. Kini semuanya telah tiada kecuali anak kecil ini yang tersisa, berilah anak ini sedikit minum agar …” ucapan al-Husein yang belum selesai itu dipotong oleh anak panah yang melesat dengan tepat persis menembus kepala mungil itu. Al-Husein tersentak, sementara darah segar membasahi bibir bayi yang sejak tiga hari lalu mengering. Bayi itu menggelepar-gelepar di tangan ayahnya yang sejenak tertegun menyaksikan peristiwa itu.
Al-Husein mengangkat tangannya ke atas dan menengadahkan wajahnya seraya berdoa; “Ya Allah, saksikanlah bahwa mereka bertekad untuk membumihanguskan dan melenyapkan seluruh cucu Nabimu.” Al-Husein membopong bayi yang kini berbusana merah itu menuju kemah Zainab. Ummu Kultsum menabrak al-Husein dan mendekap bayi yang tak bernyawa itu sambil meronta-ronta pilu. Sayyidah Zainab menangis tersedu-sedu, seakan tak percaya akan apa yang telah dilihatnya. Apa dosa anak itu hingga harus dipanah kepalanya. Bukankah itu cucu Rasulullah? Betapa menderitanya bayi mungil itu, dicekik kehausan, lalu dipanah tanpa belas kasihan. Inna lillah wa inna ilaihi raji’un.
Melihat teman-teman terdekat dan sanak familinya telah terbantai, al-Husein lalu berdiri seorang diri dengan mengenakan jubah serta serban kakeknya, Rasulullah saaw. Lalu al-Husein menuju kemah Zainab seraya berpamitan padanya. Anak-anak al-Husein memeluknya satu demi satu, ditatapnya Ali Zainal Abidin yang terbaring sakit, diciumnya dan dipeluknya. Lalu Imam berpesan kepada sayyidah Zainab agar memimpin rombongan sepeninggalnya.
Kini al-Husein telah menaiki kudanya dan mulai menyerang musuh-musuhnya. Seorang demi seorang dari prajurit berguguran di tangannya. Panas yang sangat terik serta haus yang mencekik mulai melemahkan tubuhnya. Sesekali ia menoleh kepada keluarga dan sahabat setianya yang telah syahid di Karbala. Dipanggilnya Habib bin Mudhahir, namun ia tak menyahut, dipanggilnya Ahmad bin Hasan, namun ia membisu, dipanggilnya Ali al-Akbar, namun ia hanya diam seribu bahasa. Lalu Imam Husein berkata seorang diri, “Ah, kenapakah kalian semua membisu. Begitu kejamnya musuh-musuh Allah yang memisahkan kalian denganku.” Lalu beliau pun menyerang kembali dan untuk kesekian kalinya musuh berguguran ditanganya.
Tiba-tiba sebuah pedang menggores luka di tangannya. Tangan itupun berlumuran darah. Tangan yang dulu pernah dipakai memeluk Rasulullah saaw, kini meneteskan darah segar. Serangan panah, tombak, batu dan api bertubi-tubi mengenai jubah al-Husein dan al-Husein tak kuasa menghindarinya. Luka disekujur manusia suci itu kian bertambah, namun al-Husein tetap mengadakan perlawanan sekuat sisa tenaganya. Sebuah anak panah beracun yang ditembakkan Khuli bin Yazid mengenai cucunda Nabi termulia itu dan terhuyung hilang keseimbangan tubuhnya. Tak lama kemudian terjatuh dari kudanya. Ya Rasulullah, kini cucumu terhuyung kesakitan. Jubah dan serban yang kau hadiahkan padanya telah berubah kemerah-merahan bersimbah darah. Lubang di dadanya merekah dan darah menyiram tubuhnya. Al-Husein mencoba menahan pedih luka-lukanya sambil berusaha untuk bangkit. Sayang sebuah panah lagi dari arah samping yang dihujamkan Abu Qudamah al-Amiri menancap di dada kanannya. Al-Husein roboh urung bangkit. Ia mengerang kesakitan di tengah lingkaran pasukan berkuda Umar bin Sa’ad.
Al-Husain mencabut panah yang masih menancap di dada kanannya dengan sekuat tenaga. Seraya menggigit bibirnya yang pucat kemuning, darah segar menyembur dari luka di dadanya. Tangan al-Husein mengusapkan darah di permukaan jenggotmya seraya berucap parau, “Waa Muhammadaa, Waa ‘Aliyyaa, Waa Fathimataa, waa Hasanaa, waa Ja’faraa, waa Hamzata, waa Rasulallah..” Setelah mengutarakan keluhannya, Imam Husein jatuh pingsan sesaat. Pasukan musuh membiarkan tubuh itu tergeletak begitu saja sambil menanti al-Husein siuman. Pasukan musuh mulai panik tidak tahu apakah telah gugur atau masih hidup.
Setelah berjalan beberapa saat, sementara jasad al-Husein tak juga bergerak, tiba-tiba al-Kindi melompat dari kudanya dan menduduki jasad putera Fathimah yang lunglai itu. Pukulan al-Kindi ke arah kepala al-Husein membuat al-Husein tersadarkan diri dari pingsannya. Ia menjerit kesakitan lalu berkata, “Semoga Allah meletakkan kau kelak pada tempatmu yang layak, Neraka bersama manusia-manusia durjana lainnya.” Pedang al-Husein dirampas. Kini pemimpin pemuda-pemuda Surga itu duduk di atas tanah tanpa senjata membiarkan darah tetap membasahi tubuhnya di tengah lingkaran pasukan berkuda yang berputar-putar. Teriakan-teriakan pasukan Umar mengalahkan pekikan dan erangan tangis Zainab serta adik-adiknya yang meronta-ronta sedih diseberang.
“Hai, apa yang membuat kalian diam ! Cepat selesaikan !” teriak Umar dari belakang. Dan dengan sekonyong-konyong Syabts bin Rabi’i menyeruak dari barisan dan bergegas menuju al-Husein yang kehilangan tenaganya. Namun secara tak terduga lelaki yang dikenal beringas itu kembali ke barisannya.
“Hai, mengapa kau kini menjadi penakut? Mengapa kau batalkan niat membunuh al-Husein? tegur Sinan bin Anas mengejek.
“Hai keparat, tahukah kau, ia tiba-tiba membuka matanya dan seketika kulihat wajah Muhammad kakeknya.” Bantah Syabts mengutarakan alasannya. ”Kau memang penakut.” Sinan sambil memisahkan diri dari barisannya menuju jasad al-Husein. Ketika hendak mengayunkan pedangnya ke leher al-Husein, tiba-tiba Sinan melepaskan pedangnya dan lari meninggalkan tubuh tak berdaya itu sendirian. “Hai kau, mengapa kau lari-lari terbirit-birit seperti anjing sakit ?” sergah Syimr. “Sungguh wajahnya adalah Muhammad.” jawab Sinan sambil menundukkan wajahnya.
Drama Karbala memasuki adegan paling menyayat hati. Tatkala Syimr mulai melepas setiap anggota badan al-Husein perlahan-lahan. Al-Husein hanya menjerit parau, “Waa Muhammadah, wa Aliyyah, waa Fathimatah, waa Hasanah, waa Ja’farah, waa Hamzatah, waa Aqilah, waa Abbasah, waa Qathilah.” setiap kali pedih luka dirasakannya.
Ketika itu tak satupun anggota badan al-Husein yang lolos dari sayatan pedang. Syimr memindahkan pedangnya yang amat tajam dan panjang itu ke leher al-Husein. Kepala cucunda kesayangan nabi itu kini digerakkan ke kanan dan ke kiri oleh seekor binatang buas bernama Syimr bin Dzil Jausyan.
Gema tangis dan unjuk rasa wanita-wanita keluarga Abul Qasim yang membumbung ke angkasa mengawali adegan pemisahan leher al-Husain dari tubuhnya. Tubuh penuh luka itu menggelepar tatkala pedang Syimr membuka secara perlahan permukaan kulit leher al-Husein. takbir bergaung dan raungan tangis wanita bergema ketika melihat kuda jantan berwarna putih itu datang ke arah kemah tanpa penunggangnya. Zainab dan para wanita Ahlul Bait berhamburan memeluk kuda penuh luka itu seraya berteriak parau, “Waa Husainah, waa qatiilah..!”
Ketika para wanita menangis berpeluk-pelukan melihat tubuh Imam Husein yang diinjak-injak kuda, melihat kepala Imam Husein yang dipisah dan dijadikan bahan mainan, ditancapkan dari satu tombak ke ujung tombak yang lain, maka di saat itulah Ummu Salamah melihat Rasulullah dalam tidurnya, turun dengan pakaian dan rambut yang berdebu. Dan setelah ditanya, “Mengapa engkau dalam keadaan begini, ya rasulullah?” Rasulullah menjawab, “Aku menggali kuburan untuk al-Husein dan para sahabatnya.” Waa rasulullah, sementara di Karbala orang-orang yang dipimpin Umar bin Sa’ad masih berpesta pora mempermainkan kepala Husein dan sahabat-sahabatnya.
Di saat Ummu Kultsum, Sayyidah Zainab dan yang lainnya berpelukan di dekat kuda al-Husein. Tiba-tiba para tentara Yazid membakar kemah-kemah mereka hingga mereka berlarian dari satu sudut ke sudut yang lain. Kerudung mereka ditarik, hiasan mereka dirampas, baju mereka ada yang dirobek. Bukankah mereka puteri-puteri Rasulullah? Siapa pelindung mereka saat ketakutan seperti ini. Inikah balasan kalian kepada keluarga nabi kalian?
Ummu Kultsum menjerit-jerit, “Waa Abataa, waa Amata, waa Husaina.” Sayyidah Zainab berlari-lari menyelamatkan kehormatan wanita-wanita suci Ahlul Bait. Didekapnya seorang demi seorang, didekapnya Ali Zainal Abidin yang masih dalam keadaan sakit.
Setelah kemah-kemah mereka dibakar mereka dibelenggu, dipermalukan, dicaci dan dihinakan di sepanjang jalan. Bahkan ada yang melempari keluarga Rasulullah dengan sandalnya. Apa salah Ahlul baitnya hingga diarak bagai tawanan?
Lalu mereka dibawa ke istana Ibnu Ziyad, kemudian dibawa ke Syam untuk dihadapkan kepada Yazid.
Kepala Imam Husein diturunkan dari ujung tombak ke atas meja, lalu dipukul dengan tongkat oleh Yazid. Bibir yang pernah dikecup Rasulullah dipukul hingga pecah. Sayyidah Zainab menjerit , “Apa yang kalian lakukan? Itu kepala al-Husain! Waa husainaah… waa husainah….”
Balairung itu menjadi saksi bisu akan kesedihan Ahlul bait disaat itu, hingga akhirnya, setelah sebulan lebih dikurung, mereka diperkenankan pulang. Disaat itulah Sayyidah Zainab meminta agar kepala al-Husain diberikan kepadanya untuk disatukan di padang karbala. Akhirnya, pulanglah mereka hanya dengan kepala cucunda Rasulullah, kepala al-Husain. Dan sesampainya di Karbala, mereka bertemu dengan Jabir al-Anshari yang sudah sangat tua dengan beberapa sahabatnya sedang berziarah di Karbala.
Kur tangis membahana di padang Karbala. Jabir menangis tersedu-sedu melihat konvoi Ahlul bait pulang tanpa al-Husain, lalu Jabir berkata, “Wahai al-Husain, mereka telah memisahkan kepala dengan badanmu. Aku bersaksi bahwa engkau adalah putera Rasulullah, putera Amirul mu’minin, putera orang-orang bertakwa dan yang kelima dari Ashabul Kisa’.”
Salam untukmu wahai al-Husain…. Salam untukmu wahai para arwah syuhada pembela al-Husain….
Lalu Jabir meneruskan ucapannya dengan linangan air mata, “Aku bersama kalian, ikut merasakan penderitaan kalian.” Lalu seorang sahabat bertanya, “Bagaimana bisa, kita dianggap ikut bersama mereka, padahal kita tidak hadir di padang Karbala?”
Jabir menjawab, Rasulullah saww, kekasihku bersabda, “Barangsiapa yang mencintai suatu kaum dan beramal seperti amalan kaum itu, maka ia dihitung sebagai bagian dari kaum tersebut.”
Ya Allah, Saksikan bahwa kami bersedih atas apa yang menimpa mereka. Ya Rasulullah wa ya Ahla baiti rasulillah..Terimalah ungkapan bela sungkawa kami dan kumpulkan kami bersama mereka.
Artikel ini diambil dari: MAQTAL Imam Husein « Ibnuhadis's Blog.htm
EDITOR: Abd.Rohman/ M. HUROIROH


ulangan kelas 8

Ulangan kelas VIII (8) semester 1
SoalPilihan Ganda:
1.       Apakah arti dari Ibroh..
a.       Pendidikan                                
b.       nasehat      
c.        pelajaran                   
d.       pembelajaran
2.       Di zaman Dinasti Abbasiyyah ummat Islam sudah menjelajah beberapa Benua…
a.       Asia, amerika dan Eropa       
b.       Eropa,Asia dan Afrika
c.       Afrika dan Eropa                      
d.       Amerika dan Asia
3.       Dinasti Abbasiyyah dimulai dari..
a.       750 H – 590 H                            
b.       132 H – 656 H           
c.        750 H – 1258 H                         
d.       334 H – 590 H
4.       Sipakah pendiri Darul Hikmah..
a.       Harun Al Rasyid        
b.       Almakmun
c.        Almutawakkil           
d.       Abu Abbas Ashshoffah
5.       Yang termasuk ilmu Aqliy adalah..
a.       Hadits                          
b.       Tasawwuf
c.        ilmu Nahwu                              
d.       ilmu falaq
6.       Yang termasuk tokoh ahli tafsir bilma’tsur adalah..
a.       Ibnu Jarir Ath Thobariy         
b.       Abu Muslim
c.       Abu bakar Assam                    
d.       Ibnu Jaro Al As’adiy
7.       Ulama’ Islam di barat yang dikenal dengan sebutan Averos adalah..
a.       Ibnu Sina                    
b.       Ibnu Rusyd                               
c.        Alkindi        
d.       Al Ghazali
8.       Karangan Imam Syafiiy diantaranya adalah..
a.       Ihya Ulumidin           
b.       Almuwaththo          
c.        Al Umm      
d.       Asysyurut
9.       Yang termasuk ahli di bidang Tasawwuf adalah..
a.       Ibnu Arabi                                                                  
b.       Azzajjaj                      
c.        Abu Muslim Al Asfahani                                      
d.       Azzamakhsariy
10.   “ adalah ilmu yang mengacu kepada Al Qur’an dan hadits” ungkapan ini adalah pengertian dari..
a.       Ilmu Astronomi        
b.       Ilmu Naqli                  
c.        Ilmu Aqli    
d.       Ilmu Hisab
11.   Diantara ulama’ Tasawwuf yang berfaham Wihdatul Wujud adalah..
a.       Ibnu Arabi                                                                  
b.       Azzajjaj                      
c.        Abu Muslim Al Asfahani                                      
d.       Azzamakhsariy
12.   Diantara bukti berkembangnya ilmu Agama pada masa Dinasti Abbasiyyah adalah…
a.       Berdirinya Darul Hikmah                      
b.       orang pemerintahan jujur semua
c.       Semua orang Islam pintar-pintar                      
d.       benyak yang segan terhadap islam
13.   Yang dimaksud ilmu Hadits adalah..
a.       Ilmu yang mempelajari tentang perkataan
b.      Ilmu yang mempelajari tentang Hadits nabi
c.       Ilmu yang mempelajari tentang perkataan, perbuatan ketetapan dan gerak-gerik nabi
d.      Semua benar
14.   Siapakah ulama’ yang mengarang kitab berisi 5000 Hadits dan ditashihkan kepada 70 ulama’…
a.       Imam Syafiiy             
b.       imam Al Ghozali      
c.        imam Qusyairi         
d.       imam Hanafi
15.   Karangan siapakah kitab yang bernama Thahaput Thahaput…
a.       Imam Syafiiy             
b.       imam Al Ghozali      
c.        Dzunnun Al mishri
d.       Ibnu Rusyid
 Soal Uraian:
1.       Sebutkan tiga teladan dari Ulama’ yang dapat ditiru dalam mengembangkan ilmu !
2.       Apa yang dimaksud dengan ilmu fiqih, ilmu Tasawwuf dan ilmu Kalam ?
3.       Sebutkan 4 ulama’ ahli Tasawwuf !
4.       Tuliskan Hadits dan ayat Al Qur’an yang memberikan Motivasi untuk menuntut ilmu ?
5.       Tuliskan 5 ahli Hadits dan Karyanya !